Feeds:
Posts
Comments

Archive for May, 2012

Senja di ketinggian

***

langit biru, berganti jingga

langkah terhenti, lalu terduduk

sejajar dengan awan

“aku ingin menikmati senja sambil minum kopi….”

Aku masih ingat, itu yang kau ucap

***

Read Full Post »

Apa yang akan kalian perbuat jika rencana yang sudah tersusun rapi gagal terlaksana? Bingung, acak adut, kacrut, cenat-cenut..? Ya.. itulah yang saya alami beberapa hari yang lalu. Planing saya dan teman-teman akan mendaki Gunung Slamet yang telah disusun sedemikian rupa gagal terlaksana di hari H-1. Di hari itu, Tuhan mengingatkan kodrat saya sebagai seorang perempuan, yaitu menstruasi. Saya kabari beberapa teman kalo saya sedang mens. Sebenarnya saya tetap yakin, mendaki gunung saat mens itu tidak apa-apa. Asalkan tidak membuang “bekasnya” sembarangan. Toh niat saya tidak buruk.

Malamnya, Richo mengabari saya kalo yang sedang mens tidak diperbolehkan mendaki Gunung Slamet. Arrggghhhhhhhhh….langsung saya shocked. Kalo HP saya berubah jadi ayam panggang, pasti sudah saya makan pake sambel trasi.

Sebenarnya saya masih yakin bisa mendaki gunung Slamet, tapi saya lebih mengantisipasi agar tidak terjadi hal negatif yang bisa berakibat pada teman-teman lain. Aiisshhhh… rasanya saya lebih percaya hal klenik daripada percaya pada DPR.

Saking “panasnya” berasa pengen masukin kepala ke seember air es biar bisa meredam emosi. Bergaya macam orang yoga, akhirnya pikiran bisa lebih tenang. Saat itu saya hanya bisa perpikir positif dan berdoa,

“ Ya Tuhan, jika tak Kau ridhoi rencanaku, berikanlah rencana yang lebih indah setelah itu.”

Tak ingin sia2 persiapan saya dan teman2 jika tidak jadi mendaki, saya berinisiatif untuk mengalihkan pendakian ke gunung lain. Terserah. Kali ini saya hanya bisa makmum. Toh ini juga gara2 saya. Setelah terjadi perundingan melalui telepon, pilihan jatuh ke Gunung Merbabu via jalur pendakian Selo, Boyolali.

Demi saya, teman-teman yang sebagian belum kenal, mau menunggu. Demi saya, mereka rela menurunkan ego. Ya.. saya hanya bisa bersyukur, Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang baik.

Sebelum tidur, saya sempat membuka “Buku Rahasia”. Di bagian wishlist tertulis “Ngembaliin edelweiss ke Merbabu”. Wishlist adalah daftar impian yang ingin saya wujudkan. Saya selalu menuliskan keinginan, sekalipun itu hal sepele. Entah bagaimana cara Tuhan bekerja, satu per satu keinginan tersebut terwujud. Seperti juga saat ini. Rupanya Tuhan menyuruh untuk menunaikan kewajiban saya terlebih dahulu. Tanda tanya besar sudah hilang. Senyum lebar kembali keluar. Merbabu, aku akan kembali menemuimu.

Sekitar 2 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 27 Juli 2010, saya dan beberapa teman mendaki Gunung Merbabu lewat jalur pendakian Selo. Saat perjalanan turun, dan melewati padang edelweiss, saya tergoda untuk memetiknya. Ya.. saya memang sangat suka bunga abadi yang katanya cermin pecinta alam itu.

Saat di rumah, seiikat edelweiss itu setia menghias sudut kamar. Dan selalu mengingatkan saya pada keindahan Merbabu. Tapi entah kenapa, sering muncul rasa bersalah. Pesan2 yang sering dikoar-koarkan para pecinta alam “dilarang mengambil kecuali gambar dan sampah” seakan2 hanya menjadi angin lalu.

Mulai saat itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak memetik edelweiss dimanapun saya mendaki. Terdengar sangat idealis dan sok suci, sih. Tapi BIARIN. Ini sudah menjadi janji saya. Memetik dan membawa pulang bunga edelweiss itu saya rasa bukan wujud cinta pada alam. Cinta itu tidak merusak, tapi merawat.

Untuk menebus rasa bersalah tersebut, saya berjanji akan mengembalikan edelweiss Merbabu yang pernah saya curi. Saat ini adalah waktunya. Demi menjalankan misi, saya harus bisa bersahabat dengan rasa capek, kantuk, dan tentu saja dingin.

Dalam satu rombongan terdiri dari 9 orang, yang pernah mendaki Merbabu lewat Selo hanya saya, itupun saya lupa-lupa ingat jalurnya. Berbekal sisa-sisa ingatan, dan intuisi dari Richo dan Vbree, pukul 8 pagi kami mulai pendakian. Mendaki pada pagi – siang tentu saja membutuhkan stamina dan air lebih banyak. Tapi juga bisa menikmati pemandangan. Seperti saat itu, semesta benar-benar sedang bersahabat. Cuaca cerah, awan putih menggulung, sesekali terlihat burung melintas, dan ditutup dengan senja menjingga, yang tak lama berubah kabut putih. Ini adalah kali pertama saya bisa menikmati senja di gunung. Sangat indah.

Malamnya, saya gunangan untuk istirahat. Terdengar suara tawa teman-teman dari luar tenda. Ingin sekali saya bergabung dengan mereka. Tapi pening di kepala ditambah sedikit nyeri haid mengurungkan niat. Obat nyeri sudah habis. Sebutir obat tidur saya minum. Ya..saya hanya ingin tidur. Atau misi saya gagal, gara2 saya tumbang. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi.

Pukul 04.00, hanya saya dan Windu yang berniat muncak. 7 teman yang lain sudah terlanjur berkawan dengan rasa nyaman. Ransel sudah di punggung, pantang untuk diturunkan.

2 sabana sudah terlewati. Di sabana 3, saya dan Windu berhenti untuk menikmati sunrise. Namun karena rasa mual, Windu lebih memilih istirahat. Jadilah saya menikmati sunrise seorang diri dengan diiringi angin gunung yang membuat dingin semakin menusuk.

Mentari mulai meninggi. Tak kuat menahan rasa mual, akhirnya kami memutuskan kembali turun menemui teman-teman. Melewati sabana-sabana ini memuat ingatan saya kembali ke 2 tahun lalu. Saat pertama kali mendaki Merbabu. Jadi semacam napak tilas.

Sampai di sabana 1, kami berhenti. Di sinilah saya mencuri edelweiss itu. Seikat edelweiss yang tersimpan di stoples saya keluarkan. Saya kembalikan ke tempat sebenarnya dia berada. Seperti percakap dengan seorang sahabat, saya ucapkan maaf dan selamat tinggal pada edelweiss. Kau lebih indah di sini daripada di vas bunga. Biarlah kau berseri di gunung tinggi dan setia mengiringi mentari. Terimakasih telah menemaniku selama 689 hari ini. Rasa bersalah berganti rasa lega, kami kembali turun.

 

 

#Merbabu, 19 Mei 2012

Read Full Post »

Tet..teret,..teret… #ringtone bersuara Themesong Closing Spogebob berbunyi. Tanda SMS masuk. Sebuah pesan singkat dari Sasha, yang isinya ajakan short trip ke Sarangan tanggal 21- 22 April 2012.  “Yoh..”. tanpa pikir panjang, balasan sms yang hanya berisi 3 huruf itu langsung terkirim. Ini salah satu nilai plus atau minus, saya kurang paham. Jika ada ajakan nge-trip alias nggembel, indikator semangat saya langsung naik sekian bar. Pahadal kalo dipikir2 tanggal segitu pas masuk tanggal sekarat. But..it’s OK. Berubah jadi sapi ngepet atau malakin koruptor pasti dapat mengatasi.

Beberapa hari sebelum hari H, saya dan Sasha mulai cari2 informasi jadwal kereta. Tentu saja di bawah komando Ijah. Dia memberi 2 alternatif pilihan kereta, KA Pasundan atau Kahuripan. Sepertinya dia mantan asisten masinis yang teladan. Atau bisa jadi calo tiket yang sudah insaf. #Entahlah. #Abaikan.

Sabtu paginya, meluncurlah saya ke Stasiun Lempuyangan buat ngecengin masinis. Tapi apa daya, yang saya temui malah mbaksinis. Hahhahaa. Sejujurnya saya mau beli tiket odong-odong, berhubung tidak ada, jadi ya saya beli tiket kereta aja. #Ngak Penting.

Dengan memberikan upeti sepesar Rp 70.000,-, 2 tiket KA. Pasundan jurusan Stasiun Barat, Magetan keberangkatan jam 15.10 WIB sudah berpindah ke tangan saya. Balik lagi ke rumah, buat lanjutin “nukang”. Lumayan, bisa buat tambahan beli coklat chacha buat ngemil di kereta.

“Su.. kowe Nengdi? Cepet. Keretane wis tekan.”

Rupanya Sasha lebih duluan nyampe di Lempuyangan. Seperti biasa, biar kaya jagoan, saya datangnya belakangan. Emm. Lebih tepatnya telat. Saya yakin, pasti saat itu jantung Sasha berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Soalnya yang bawa tiketnya kan saya. Hahahahhaa. Percayalah Su, saat itu diri ini juga merasakan apa yang kau rasa. Dengan nyetir motor bak Valentino Rossi, berhasillah kakak saya mengantarkan sebelum kereta berangkat. #Elus2 dada.

Mulai masuk peron, dan mencari keberadaan gerbong 6. Tak berapa lama, kereta berangkat. Tenggelamlah kami dalam perjalanan dengan banyak percakapan di kereta ekonomi yang sudah seperti pasar. Mulai dari penjual minuman, makanan, buku bacaan sampai alat masak. Rame dan seru. Himpitan ekonomi memang membuat orang2 itu berpikir makin kreatif.. 🙂

Magrib, kami sampai di Stasiun Sragen. Kereta berhenti cukup lama. KA Pasundan tergolong kereta yang sabar. Harus mengalah demi kereta bisnis dan eksekutif. Sekali lagi, realita “Money Talks”. Kalo ada award kereta tersabar, pasti KA Pasundan sudah masuk nominatornya. Saking lama berhentinya, bahkan saya saja sempat tertidur.

Demi mencari keamanan agar tidak kebablasan kereta, kami berpindah ke sambungan gerbong kereta. Bertemankan bintang, dalam sebuah perjalanan. Aisshh..kenapa pas sama Sasha. -____-“

Tiba di Stasiun Barat, kami turun. Mulailah kami mencari keberadaan Ijah. “Mbaaaakkkk….”. tiba2 suara itu muncul. Saya kira ada anak2 yang mengaku2 sebagai adik kandung kami. Eee… ternyata itu suara Ijah. Rupanya Ijah dan sodaranya, Ryan sudah menunggu cukup lama. Cipika-cipiki, lalu meluncurlah kami ke rumahnya.

Sampai di rumah Ijah, keluarganya menyambut kedatangan kami. Istirahat sebentar, lalu makan malam dengan menu sederhana tapi mengena. Dengan topik percakapan Iwak Peyek. Sampai akhirnya aura kasur memanggil.

Jam 6 pagi, kami berpamitan sama keluarganya Ijah. Seperti rencana, kami berempat akan ke Telaga Sarangan dan Air Terjun Tirtosari. Padahal rencananya mau berburu sunrise di telaga. Hahahaha.

Di perjalanan menuju Telaga Sarangan, dari sisi timur Gunung Lawu terlihat gagah. Jelas, tanpa tertutup kabut. Menegok ke sebelah timur. Sekali lagi saya terkagum2, lebih tepatnya bertingkah norak. Bagaimana tidak. Tak perlu ke tempat yang tinggi, kami sudah bisa melihat sunrise. Bulat penuh dengan gradasi warna magenta dan jingga. Semacam sambutan hangat “Selamat Datang di Magetan”.

Sekitar 45 menit, kami telah sampai di Tegala Sarangan. Karena kepagian, loket tiket belum buka dan masih sepi pengunjung. Itulah keuntungan bagi kaum yang bangun pagi. Mulailah kami keliling2 telaga. Lalu menyewa sebuah kapal dengan harga Rp 40.000,-. Menikmati telaga, dengan latar gunung Lawu diiringi mentari yang kian meninggi.

Destinasi kedua adalah Air Terjun Tirtosari. Butuh sekitar 10 menit dengan menaiki sepeda motor untuk sampai di sini. Untuk sampai di air terjunnya, kami harus berjalan kurang lebih 3 km. Dijamin berjalan kaki tidak akan bosan. Karena memandangan sepanjang perjalanan cantik sekali. Perbukitan hijau yang ditumbuhi pepohonan menghiasi kanan kiri. Sungai kecil mengalir membelah ladang yang ditumbuhi wortel, kol, daun bawang, dll. Dengan bonus langit membiru tak ada pertanda akan mendung, dan mentari yang tak terasa menyengat.

Perjalanan yang menanjak, mengisyaratkan pada kami untuk istirahat. Suara deru air semakin terdengar jelas. Setelah melewati 2 tingkat dam air, sampailah kami di Air Terjun Tirtosari.

“Pelangi… Ada pelangi”, Ya… selengkung pelangi sedang menghiasi Air Terjun Tirtosari. Pertanda menyambut kedatangan kami. Tak berapa lama, saya, Ijah dan Rian mulai berganti “kostum basah-basahan”. Karena males ke kamar mandi, sarung milik bapak penjual sate kami pinjem buat ganti celana. Sret..sret.. beres deh. It’s called the power of sarung. Hehehehe.

“Sini..bermainlah bersamaku”, seakan-akan pelangi itu berbicara kepada kami. Mengunjungi air terjun tapi tak berbasah-basah ria itu rasanya kurang puas. Apalagi ditambah dengan sambutan selamat datang dari pelangi. Aihh… bagaimana bisa menolak. Deru air yang menggebu dari ketinggian kurang lebih 30 m, membuat saya serasa dipijitin. Lelah perjalanan tiba-tiba musnah sudah. Katanya, airnya bisa bikin awet muda dan bikin berkah. Kalo saya sih percaya gak percaya. Kan saya emang udah awet muda. Hehehehehe. Rejeki juga sudah ada “Si Bos” yang ngatur, tinggal kita yang pintar-pintar cari celah.

Puas bermain-main, lalu kami ganti baju. 2 porsi sate kelinci dan sate ayam kami pesan dengan dibandrol Rp 7.000,- per porsi sudah siap disantap. Mulailah kami menikmati sate dengan gemuruh air terjun sebagai suara latar, tak terasa akan adanya polutan.

Makin siang pengunjung makin banyak. Membuat kami memutuskan meninggalkan Air Terjun Tirtosari. Rupanya sang pelangi masih setia menemani. Tapi maaf, kami harus pergi. Terimakasih atas deru air terjun yang menggebu, hijaunya perbukitan, birunya langit, dan bonus pelangi. Semesta benar-benar sedang bersahabat dengan kami.

Momen seperti ini sia-sia kalo gak ada photo sesion-nya. Bukan mahluk2 absurd kalo posenya standard2 aja. Mulailah kami foto dengan berbagai pose. Nungging, kayang, nendang, sampai pose anjing kencing sudah kami coba. Urat malu kami, emm.. lebih tepatnya saya dan Sasha, sepertinya sudah putus.

Kembali lagi ke Sarangan, rupanya pengunjung sudah membeludak. Setelah mendapat tempat yang tepat, kami duduk2 di pinggir telaga, dengan menikmati segelas kopi susu. Yang tak lama kemudian penjualnya mengisyaratkan setengah memaksa agar membeli sate kelinci dagangannya. Menikmati lagi sate kelinci, dengan ditemani segerombolan monyet yang tiba2 (seperti) ngajak temu kangen dengan kami.

Pukul 12.30, kami meninggalkan Telaga Sarangan. Ijah mengajak kami ke sebuah telaga. Mini telaga, lebih tepatnya. Sebuah telaga yang saya tak tahu namanya. Istirahat sejenak dan menikmati ketenagan yang ditawarkan.

Waktu juga yang mengingatkan kami, bahwa kami harus balik ke stasiun. Tiket pulang belum ada di kantong. Perlahan-lahan kami menuju Stasiun Madiun sambil menikmati sisa-sisa pemandangan yang tak berapa lama kemudian berganti lalu lalang kendaraan.

Perbedaan suhu sangat terasa ketika sampai di Stasiun Madiun. Suhu yang tadi dingin kini berganti panas menggila. Dengan tiket kereta Gaya Baru Malam yang sudah kami dapat, kami tinggal menunggu jam keberangkatan. Rencananya mau makan pecel madiun. Sayangnya belum buka.

Sebelum jam 16.45 WIB, kami berpamitan sama Ijah dan Rian. Big thanks for you, yang telah bersedia menampung makhluk2 seperti kami. Tak berapa lama, kereta tiba. Kali ini di gerbong 7.

Perlahan-lahan kereta bergerak. Mengantarkan kami pulang. Melarutlah saya dan Sasha dalam percakapan tentang cita2, cinta, pengalaman, dan banyak hal di sambungan gerbong kereta.

Berakhirlah short trip absurd kali ini, setelah bertemu bintang, sunrise, air terjun, langit biru, tenangnya telaga, dan ditutup dengan iringan senja yang kian menua. Rupanya semesta berkonspirasi menyambut kedatangan kami. Yaa..semua itu tak akan pernah kami temui jika kami hanya berdiam diri di rumah… 🙂

Read Full Post »

Rain

***

Matahari sedang bersemangat bertugas. Terik, dan tak mengenal toleransi. Ah.. bukan, bukan salah matahari. Karena memang itu sudah jadi tugasnya. Aku hanya rindu hujan. Sudah berhari-hari tak datang menyapa. Aku rindu gemericiknya. Aku rindu bau tanah setelah bergumul dengan panas. Aku rindu tenang yang dibawanya.

***

Song by: MOCCA , And Rain Will Fall

Read Full Post »