Feeds:
Posts
Comments

Archive for May, 2013

lost

Read Full Post »

Duduk Dulu

182847_10200312050381063_1231227580_n

263112_10200227848796076_811633835_n

12020_10200191094837250_707681016_n

 

Ada yang berjalan cepat-cepat. Diburu waktu, katanya. Ada yang harus cepat-cepat. Tak ingin tertinggal katanya. Tapi cobalah untuk berhenti sejenak. Biarkan detak jantung bekerja selayaknya. Tidak digesa-gesa. Duduklah, dan nikmati.

Read Full Post »

“Kamu beneran mau naik ini?”, salah satu teman yang saya pamiti bertanya sambil menunjuk motor saya. Setengah tidak yakin.

Ekspresi yang sudah saya duga, mengingat motor saya adalah motor tua. Motor pitung (C70) yang sudah dimodifikasi dari Honda Astrea Star tahun 1997. Motor kesayangan yang butuh proses lama untuk memilikinya. Saya namai Misel. Keren kan? Namanya doang maksudnya.

Entah setan dari mana yang membisikkan keinginan tidak wajar ini. Saya pengen touring ke suatu tempat naik pitung, dan pesertanya hanya perempuan. Partner in crime sesama sinting yang berhasil saya gaet adalah Indah. Saya dan Indah sama-sama pecinta motor pitung. Sekedar informasi, kelakuannya tidak seindah namanya.

Beberapa hari sebelumnya, Indah menawarkan ke Cilacap. Saya setuju. Mulai cari tahu rute perjalanan dan tempat-tempat yang akan dituju. Siap tancap gas. Maka dimulailah misi gorong-gorong ini. Hanya beberapa teman yang diberitahu kalau kami akan touring berdua saja. Naik motor sendiri-sendiri. Kami sudah berencana tidak akan memberitahu sebelum sampai Cilacap. Lebih tepatnya antisipasi malu jika misi gagal.

Menurut informasi, jarak Jogja-Cilacap bisa ditempuh 4-6 jam. Cukup panjang. Tapi tak apa. Biar santai asal sampai. Jam 8 malam kami mulai berpacu dengan kuda besi. Menembus jalanan beriringan dengan mobil, truk, bahkan tronton.

CIMG3485

2 jam berkendara, tubuh kami sudah mulai meronta. Ambil sein kiri, kami menepi di pom bensin Purworejo, sekalian isi premium. Di sinilah bumbu perjalanan mulai terracik. Saat helm dan slayer kami lepas, ketahuanlah kalau dua makhluk betina. Maka diberondonglah kami dengan berbagai pertanyaan oleh petugas pom bensin. Kira-kira daftar pertanyaan yang berhasil kami himpun adalah:

“Mau kemana?”, “Dari mana?”, “Naik motor ini?”, Dan sebagainya… dan sebagainya. Namun ternyata di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut, para petugas pom bensin ini berbaik hati menawari tempat istirahat di mushola. Karena sebentar lagi pom tutup.

Saat kami duduk-duduk, tiba-tiba saja ada sebuah mobil mendekat. Wajar, karena kami istirahat di dekat toilet. Benar saja, satu per satu penghuni mobil keluar menuju kamar mandi. Seorang bapak mendekati kami. Pertanyaan yang sama dengan para petugas pom bensin kembali terlontar. Hanya saja kali ini lebih banyak dan mendetail. Sampai-sampai hampir seluruh penghuni mobil keluar karena melihat dua motor tua dengan dua makhluk cantik di sampingnya. Malam-malam pula. Untung bukan hantu. Salah seorang ibu sempat mencoba menaiki motor kami. Bahkan semakin getol menanyai kami.

“Kalian gak takut apa kalo tiba-tiba mogok di jalan?”, tanya si ibu.
“Kalo mogok ya nasib”, jawab Indah sambil senyum.
“Dasar, kalian ini cewek-cewek badung”, ledek si ibu.

Sejujurnya ada rasa takut itu wajar. Tapi kami harus berani. Berani itu kan bukan berarti tidak adanya rasa takut. Tapi tahu caranya menyikapi rasa takut. Juga tak lupa dukungan doa.

“Kami duluan ya”, salah satu dari mereka berpamitan.

Rupanya mereka akan melanjutkan perjalanan ke Gombong. Bapak yang menyupiri kembali keluar, mendekati kami.

“Ini buat bekal perjalanan, hati-hati di jalan ya”, kata beliau sambil memberikan empat gelas air mineral.

Saya dan Indah bengong sesaat. Tampang kami memang tampang orang yang layak dikasihani. Terimakasih, hanya itu yang bisa kami ucap. Semoga Tuhan memberkati.

Perjalanan kami lanjutkan. Masih setia menembus jalanan dan dingin malam. Menikmati setiap guliran roda. Sayangnya kenikmatan kami sempat terganggu. Ketika sampai di Karanganyar, tiba-tiba seseorang dengan mengendarai RX King “mbleyer-mbleyer” dan mendekati arah kami. Kami maju, dia ngepot-ngepot di depan kami. Entah apa motivasi orang ini. Membuat saya semakin (maaf) tidak suka dengan pengendara RX King. Arogan di jalanan.

Akhirnya kami berhenti di depan rumah makan yang cukup ramai. Sembari menunggu pengendara RX King yang tidak jelas itu benar-benar pergi. Memangnya jalanan punya mbahmu apa?

Papan di pinggir jalan menunjukkan bahwa sudah sampai di Banyumas. Jam 12 malam lewat. Sudah waktunya tubuh dan mesin motor istirahat. Kami mendarat lagi di pom bensin. Tidur.

Setengah 5 pagi, Indah masih tidur. Langit juga masih gelap. Saya sudah tidak bisa tidur lagi. Mencoba jalan-jalan di dekat pom bensin, sembari menanti semburat pagi. Saya bertanya kepada pak satpam, berapa lama waktu yang harus ditempuh untuk sampai ke Cilacap. 1-2 jam lagi, kata beliau. Ya.. senjata utama untuk sampai tujuan hanya bertanya. Tak ada GPS, telepon genggam saja buluk, lebih pantas untuk nimpuk anjing. Tapi tak apa, terkadang teknologi malah membuat diri malas berinteraksi.

Hampir 2 jam berkendara mencari-cari Teluk Penyu, sebagai tujuan pertama. Pintu masuk semakin jelas terlihat. Semakin jelas. Semakin jelas. Wow.. kami sudah berada di Pantai Teluk Penyu. Mencari-cari spot yang yahud, di dermaga. Sepi, hanya ada beberapa nelayan yang memancing ikan. Finally, Cilacap… \m/

CIMG3497

CIMG3525

Panas mulai menyengat, siap-siap pindah halauan. Benteng Pendem tujuan berikutnya. Tak jauh dari Teluk Penyu. Reaksi yang sama kembali terulang saat sampai di parkiran Benteng Pendem. Kira-kira seperti ini, “ini kenapa kok ada cewek-cewek cantik naik motor tua sampai sini. Plat AB dan H pula. Konslet otaknya apa gimana”.

Benteng Pendem adalah benteng pertahanan yang dibangun Belanda pada tahun 1861-1879 untuk mempertahankan wilayah jajahannya. Terdapat beberapa ruang. Di bagian atasnya ditanami tumbuh-tumbuhan agar tidak terlihat seperti benteng pertahanan. Masih terkesan spooky karena lembab dan gelap dalamnya.

CIMG3606

CIMG3535

CIMG3556

Cukup lama kami berada di Benteng Pendem. Santai-santai di taman sampai tak terasa sudah jam 12 siang lewat. Lapar luar binasa. Eh.. tapi.. tapi.. kami belum mandi. Mampir di toilet, mandi dulu, biar makin kece.

Kembali di parkiran. Kami malah jadi ngobrol-ngobrol sama mas-mas tukang parkir. Namanya Mas Arif dan Mas Ageng. Lumayan, modal sepik-sepik dapat teman baru.

Lapar, kami pengen makan seafood. Rencananya kami pengen beli sendiri. Tapi setelah dikasihtahu sama Mas Arif kalau wisatawan yang beli pasti dikasih harga yang mencekik leher. Keeekkkkk…. Oke, kami makmum saja. Indah dan Mas Arif pergi membeli ikan, saya menunggu sambil ngobrol dengan tukang parkir yang lain dan penjual makanan, juga Aka, anaknya penjaga loket yang masih berumur 12 bulan. Ya.. kita harus baik-baik di wilayah orang.

Tak sampai 1 jam, 4 ikan bakar sudah dibawakan Mas Arif. Sebesar kepalan tangan, penuh daging pula. Melihatnya saja bikin ngiler, semi seret. Seret karena memikir nominal harga yang harus kami bayar.

“Ini harganya berapa, mas?”, tanya saya.

“Udah, makan aja”, kata Mas Arif.

Jawaban “makan aja” sama artinya dengan kami ditraktir. Ya.. DITRAKTIR. Padahal kalau membeli, harganya bisa 50ribu per ekor, itu kata bapak nelayan yang makan bareng kami. Lagi, kami dipertemukan dengan orang baik. Thanks God.

“Kalian jadi nyebrang ke Nusakambangan? Buruan ntar keburu sore”, tanya Mas Arif.

Tujuan kami selanjutnya adalah Pulau Nusakambangan. Dengan membayar 15ribu, sebagai sewa perahu. Saat itu terisi 5 orang termasuk saya dan Indah. Terlibat perbincangan lagi dengan 3 orang laki-laki yang ternyata 2 diantaranya juga orang Jogja. Hanya mengobrol sebentar saja kami sudah mulai akrab. Lebih tepatnya saya dan Indah yang sok akrab. Nama mereka Mas Rori, Mas Budi, dan mas yang satu lagi lupa namanya. -___-”

15 menit menaiki perahu, kami telah sampai di Pulau Nusakambangan. Saya dan Indah berjalan ke Pantai Karang Bolong. Di sini juga masih terdapat benteng pertahanan.

CIMG3646

CIMG3656

Pantai, pasir putih, dan karang-karang menjamu kami, tak banyak pengunjung. Huaahhh… holideiiii.. holideii.. ini baru namanya menikmati hidup.

“Ndah, kok kita bisa-bisanya sampai sini ya”, pertanyaan konyol spontan terlontar ketika gelangsuran di pasir.

“Karena kita sukar waras”, jawab Indah. Ya.. jawaban yang tepat.

Sudah mulai sore. Kami harus bergabung lagi dengan mas-mas tadi. Rupanya mereka di pantai sebelah. Kami ngobrol-ngobrol lagi dengan mereka. Reaksi yang sama ketika mengetahui bahwa kami berdua naik motor pitung dari Jogja – Cilacap.

“Kalian pasti lagi stres, ya?”, tanya Mas Budi.

Dan saya kasih tahu, ternyata Mas Rori adalah KAKAK KELAS SAYA WAKTU SD. Ngoookkkk..

“Tadi, sebelum ketemu kalian, dunia ini serasa luas. Tapi setelah ketemu kalian, dunia terasa sempit”, kata Mas Rori. Ngakak maksimal.

Jam 5 lewat, kami sudah kembali lagi ke parkiran Benteng Pendem. Hari sudah muali gelap. Kami berpisah dengan rombongan Mas Rori. Rupanya Mas Arif dan Mas Ageng masih setia menunggu kami.

Sudah terdengar suara adzan. Indah harus sholat. Diantarlah kami ke mushola dekat rumah Mas Arif. Baru kami tahu, ternyata Mas Arif dan Mas Ageng kakak beradik. Bahkan Mas Ageng punya kembaran, namanya Mas Agung. Rumah di sini berjarak sempit. Padat penduduk, tapi ramah-ramah.

CIMG3663

Kami menyempatkan mampir ke rumahnya Mas Arif. Keluarganya menyambut hangat kedatangan kami. Ngobrol-ngorbol berteman es jeruk yang terhidang di meja. Benar-benar penyeka dahaga.

Tiba-tiba saja teras rumah Mas Arif sudah penuh dengan orang. Suerr… saya dan Indah berasa seleb. Kami tidak menyangka sambutan mereka sampai seheboh ini. Motor kami dilihat-lihat. Motor yang sebelumnya terparkir sembarangan, tiba-tiba saja sudah manis di depan teras. Kami speecless. Tujuan awal hanya main, justru malah dapat saudara baru.

Bapaknya Mas Arif menawari agar kami menginap saja di rumahnya. Tapi kami menolak, karena harus pulang. Indah masih harus melanjutkan pulang ke Salatiga. Malam itu kami meninggalkan rumah Mas Arif dengan perasaan yang serba tak terduga. Hanya bisa mengucapkan terimakasih dan jabat tangan. Juga bersyukur karena Tuhan mempertemukan kami dengan orang-orang baik.

Kami berpacu lagi dengan kuda besi, meninggalkan Cilacap. Sampai di Banyumas, mata saya sudah tidak kuat. Sudah harus istirahat.

CIMG3698

CIMG3686

Paginya kami kembali melanjutkan perjalanan pulang. Kami memilih jalur Daendles, atau jalur selatan. Udara masih segar, pemandangannya juga bagus. Ladang-ladang berhias garis pantai. Saat melewati sebuah jembatan, terlihat muara tempuran sungai dengan laut.

Saya berada di depan, menunjuk-nunjuk arah selatan. Pantai… pantai. Indah setali tiga uang dengan saya. Kami mendamparkan diri di Pantai Keburuhan, Purworejo.

CIMG3733

“Ini kenapa lagi kita bisa sampai di sini, ya Ndah?”, pertanyaan konyol kembali keluar.

“Karena kita sukar waras”, sebagai jawaban pamungkas.

Read Full Post »